Kerajaan Mataram
1. Landasan Kosmogonis
Menurut pendapat R. Von Heine Geldem, kerajaan-kerajaan kuno di Asia
tenggara mempunyai suatu landasan Kosmogonis yaitu kepercayaan akan
harus adanya keserasian antara dunia manusia ( Mikrokosmos ) dengan alam
semesta ( Makrkosmos ).
Menurut kepercayaan ini manusia selalu ada dibawah pengaruh kekuatan
yang terpencar dari bintang-bintang dan planet-planet, kekutan-kekuatan
itu dapat membawa kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian atau bencana
kepada manusia, tergantung dari doa atau tidaknya individ, kelompok
sosial. Terutama kerajaan menyerasikan hidup dan semua kegiatanya dengan
gerak alam semesta.
Dari sumber-sumber prasasti hanya dapat disimpulkan bahwa kerajaan
Mataram kuno terdiri atas ibu kota kerajaan dengan istana Sri Maharaja
dan tempat tinggal para putra raja dan kaum kerabat yang dekat, para
pejabat tinggi kerajaan dan para abdi dalam, daera dan watak.
2. Struktur Birokasi
Di dalam struktur pemerintahan kerajaan, Sri Maharaja ialah penguasa
tertinggi sesuai dengan landasan kosmogonis kerajaan, Raja adalah
penjelmaan dewa di dunia. Seirang raja harus berpegang teguh kepada
Dharmma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugrah
kepada mereka yang berjasa, bijaksana, tak boleh sewenang-wenang,
waspada, berusaha agar rakyat hidup tentram dan bahagia dan dapat
memperlihatkan wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan harta
kekayaannya.
Mengenai masalah hak waris tahta kerajaan, orang yang pertama berhak
adalah anak raja yang lahir dari Prmeswari. Putra mahkota bergelar Rakai
Hino ( Rakai Hino tidak harus putra raja yang memerintah. Ia dapat juga
adik, keponakan, paman atau kerabat dekat yang lain yang masih
keturunan langsung ). Orang yang juga berhak duduk diatas tahta adalah
Raka rayan I Halu dan Raka rayan Sirikan dan Rakarayan Wka. Dibidang
keagamaan ada pamgat tiruan. Selain itu masih ada sejumlah pejabat
kerajaandi tingkat puast tapi jumlahnya tidak sama didalam berbagai
prasasti, tetapi yang terlengkap berjumlah 12 orang yaitu: Rake Halaran,
Pangilhyan, wlahan, Pamgat Manhuri, Tanjung, pankur, tirip, Pamgat
Widihati, Pamgat Makudur, Tawan, Hahanan. Itulah 12 pejabat tinggi
kerajaan di tingkat pusat yang terdapat di dalam prasasti. Mereka
menerima perintah raja tanpa dibedakannya kedudukan mereka seperti
halnya dalam sejak zaman raja Dharmawangsa Airlangga.
Bagaimana
mekanisme jalannya pemerintahan pada zaman dahulu dapat dilihat dar
prasasti-prasasti yang memperingati penetapan siam dan yang menyangkut
masalah perpajakan. Biasanya ada permintaan dari rakyat melalui para
rama untuk menetapkan desana menjadi Sima, atau ada permohonan
peninjauan kembali jumlah pajak yang telah ditetapkan. Sejumlah rama
lalu menghadap kepada pejabat di tingkat Watak, yang kemudian
mengantarkannya kepada raja. Dalam kesempatan raja sedang dihadap oleh
segenap pejabat kerajaan, masalahnya diajukan kepada raja melalui
hirarki yang ada. Maka dengan mendengarkan pertimbangan-pertimbangan
para pejabat kerajaan, terakhir dari sang rajapurohita, yaitu pendeta
kerajaan, raja menjatuhkan putusannya. Maka titah raja itu pertama-tama
diterima oleh putra mahkota dan para pangeran, lalu diteruskan kepada
pejabat eksekutip. Dalam hal penetapan sima maka dibuatlah surat
keputusan yang ditulis oleh Citralekha kerajaan diatas daun Lontar (
ripta ). Dalam hal permohonan peninjauan kembali jumlah pajak karena
salah ukur luas tanah, raja atau putra mahkota memerintahkan pejabat di
daerah yang bersangkutan mengukur kembali, dngan disaksikan oleh utusan
dari putra mahkota.
Surat
keputusan berupa prasasti diatas daun Lontar itu kemudian dibawa oleh
pejabat daerah yang datang menghadap bersama para rama ke desa yang
ditetapkan menjadi sima.
Maka
dipersiapkanlah upacaranya. Dan pada kesempatan itu ada citralekha,
entah dari pusat entah dari daerah, tetapi dalam hal terakhir tentunya
dipilih Citrlekha yang terbaik, yang mengutip prasasti itu ke atas batu
yang ditempatkan di tengah daerah yang ditetapkan menjadi sima.
3. Sumber Penghasilan Kerajaan
Sumber penghasilan kerajaan dari penarikan pajak, di tarik dari
desa-desa oleh pejabat ditingkat watak ( Panurang ) yang membawahi desa
itu, kemudian para penguasa daerah mempersembahkannya kepada raja setiap
habis panen, sedang ditingkat pusat kerajaan semua pemasukan pajak
diurus oleh pankur, tawan dan hrip.
Disamping pajak hasil bumi dan pajak tanah rakyat harus juga membayar
pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan. Selain itu juga ada
pungutan lain yaitu bahwa setiap rumah atau kepala keluarga harus
memberi persembahan bunga pada setiap bulan purnama di bulan April dan
Juni.
Orang-orang asing yang menetap di Jawa sebagai pedagang dan menjadi warga juga berkewajiban membayar pajak.
Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintah daerah yang lain adalah
denda-denda yang dikenakan terhadap segala tindak pidana.
4. Administrasi pengadilan
didalam pemerintahan dikenal adanya denda-denda yang dikenakan terhadap
segala macam tindak pidana. Di dalam prasasti disebut sukha
dukha/drawya haji. Sedangkan didalam naskah hukum disebut hala layu.
Karena di jaman Mataram tidaka ada naskah hukum yang sampai pada kita
maka gambaran tentang administrasi kehakiman hanya dapat dilihat
berdasar beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan ( jaya
patra ) yaitu :
- Prasasti
Guntur dan Warudu kidul, perkara yang dipermasalahkan di dalamnya
diselesaikan ditingkat watak oleh seorang pamgat, yang dipermasalahkan
didalam prasasti Guntur adalah masalah pengaturan status kewarganegaraan
seseorang.
Di
dalam naskah hukum juga dicantumkan syarat-syarat seorang saksi antara
lain harus orang yang berkeluarga, beranak banyak, penduduk asli daan
orang-orang yang tak berkepentingan di dalam perkaranya baik golongan
kasta ksatriya, waisya atau sudra.
Sebenarnya
hanya ada 18 tindak pidana yang dalam naskah hukum disebut
astadasawyawata kemudian diperinci lagi menjadi beberapa ratus pasal.
Ke-18 macam tindak pidana itu ialah: Tan kawehaning patuwawa( tidak
membayar uang jaminan), Adwal tan drwya(menjual barang bukan miliknya),
Tan kaduman aluhing kinabehan(tidak kebagian hasil kerjasama),
Karuddhaning huwus winehaken(meminta kembali apa yang telah diberikan),
Tan kawehaning upahan(tidak memberi imbalan), adwa ring
samaya(mengingkari janji), Alarambeknyan pamelinya(pembatal transaksi
jual beli), Wiwadaning pinangwaken mwang manwan(perselisihan antara
penggembala ternak dengan majikanya), Kahucapaning wates(perselisihan
tentang batas batas tanah), Dandaning saharsa wakparusya(hukuman atas
penghinaan dan makian), Pawrtting maling(tingkah laku pencuri), Ulah
sahasa(tindak kekerasan), Ulah tan yogya ring laki stri(perbuatan tidak
baik terhadap suami\istri), Kadumaning drwya(pembagian hak milik atau
warisan), totohan tan prani dan totohan prani(perjudian dan taruhan).
Dari
naskah-naskah hukum ternyata bahwa sebagian besar tindak pidana itu
dihukum dengan hukuman denda tetapi ada juga hukuman potong tangan dan
lidah. Untuk pembunuhan dan pencuri dan semua kejahatan yang termasuk
asta dusta dan asta corah dihukum dengan hukuman mati.
Pejabat-pejabat
pengadilan tingkat pemerintahan adalah sang pamgat tiruan dan sang
pamgat manghuri. Untuk di tingkat watak/daerah ada juga pejabat
kehakiman dengan gelar sam samgat. Seorang penduduk desa yang merasa di
rugikan dari pihak lain berhak mengadu ke pengadila tingkat watak.
Disamping prasasti-prasasti Jaya patra ada juga prasasti dari jaman Wangsa Sailendra dan Wangsa Isana yaitu :
- Prasasti Kurungan
- Prasasti Curu tunggal
- Prasasti Panggumulan
- Prasasti Haro hara
5. Keadaan Mayarakat
Disamping strtifikasi sosial berdasarkan pembagian kasta adal lagi
strtifikasi sosial berdasarkan kedudukan seseorang didalam masyarakat
baik dalam struktur birokasi maupun kedudukan sosial berdasarkan materi.
Diadlam istana berdiam raja dan keluarganya yaitu permaisuri, selir dan
anak yang belum dewasa serta para hamba istana. Diluar istana terdapat
kediaman Rake hino, rakai halu, rakai sirikan dan rakai wka dan kediaman
para pejabat tinggi kerajaan (sang pamgat dan rakai). Rumah mereka
terletak didalam kampung khusus didalam tembik kota. Selain itu juga
tinggal drawya haji pengawal istana dan para pando.
Jadi di dalam lingkungan tembok ibu kota kerajaan tinggal kel elite dan
non elit. Hubungan raja denagn keluarga non elite secara langsungsulit
terlaksana.
Menurut berita dari Cina raja tiap hari mengadakan pertemuan dengan
putra mahkota, para pangeran, pejabat tinggi kerajaan dan pendeta
penasehat raja.
Putra mahkota, para pangeran yang lain dan para pejabat tinggi kerjaan –
pangkur, tawan dan tirip – mempunyai daerah lungguh di luar ibu kota
kerajaan, sebagaimana ternyata dari adanya daerah yang disebut watak
Hino(daerah lungguh putra mahkota) watak halu (daerah lungguh rakai
Halu), watak sirikan, watak wka, watak halaran, watak dalinan, watak
wadihati dan watak makudur. Tidak jelas apakah mereka itu masing-masing
mempunyai puri di daerah watak mereka. Kemungkinan besar tidak, karena
daerah lungguh seorang pejabat dapat diganti atau ditukar-tukar oleh
raja. Tetapi mereka itu mempunyai pejabat-pejabat didaerah watak mereka.
Pejabat itulah yang merupakan elit birokrasi daerah. Lain dari pada itu
ada juga penguasa daerah yang bergelar rakai, pamgat, haji atau samya
haji, yang tidak merupakan pejabat tinggi kerajaan. Mereka itu mempunyai
puri, karena kedudukan mereka sebagai penguasa daerah bersifat turun
temurun. Di dalam nya dayang-dayang, seniman(penari, pesinden, penabuh
gamelan dll), citralekha, pasukan pengawal, dll. Seperti telah dikatakan
diatas mereka itu mempunyai pejabat yang mengurusi segala segi
pemerinthan baik segi keagamaan maupun segi sipi, di dalam wilayah
kekuasannya. Maka kita dapat mengharapkan adanya kota-kota dalam ukuran
yang lebih kecil dari ibu kota kerajaan, yang juga dikeliling oleh
tembok. Kota itupun merupakan pusat-pusat kebudayaan di daerah.
Lain dari pada ibu kota kerajaan dan kota-kota yang mirip pusat wilayah
watak, tentunya dahulu juga ada kota pelabuhan. Menurut prasasti
Kamalagyan dijaman Mataram kuno terdapat kota pelabuhan bernama Hujung
Galuh. Pelabuhan ini selalu ramai dikunjungi oleh prau dagang dari
pulau-pulau lain.
Diluar kota-kota tersebut terdapat desa-desa(wanua), yang diatur oleh
para pejabat desa(rama). Penduduk desa(anak wanua, anak thani) pada
umumnya hidup dari bertani, berdagang kecil-kecilan dan mengusahakan
kerajinan rumah. Lain dari pada itu ada juga orang-orang yang hidup dari
memburu atau menjadi hamba(Hulun, dasa/dasi)
Adanya kelompok pemukiman itu tidak saja terbawa oleh unsur geografis
dan ekologis, tapi juga karena adanya sistem pemukiman. Beberapa
prasasti menyebut istilah panatur desa dan pangasta desa, yang kemudian
dikenal dengan istilah mancapat dan mancalima, yaitu kelompok desa yang
terdiri atas 5 desa dan 9 desa(4 desa menglilingi desa induk, dan 8
desa mengelilingi desa induk).
Sistem pemukiman mancapat itu mungkin ada hubunganya dengan hari
pasaran yang lima. Mungkin pada hari kaliwuhanpasar diadakan didesa
induk, pada hari umanis pasar diadakan didesa yang ada disebelah timur,
pada hari pahing di desa yang ada di sebelah selatan, pada hari pon di
desa yang di sebelah barat dan pada hari wage di desa yang ada di
sebelah utara.
Yang di perdagangkan di pasar desa pertama-tama ialah hasil bumi,
seperti misalnya beras, buah-buahan, sirih pinang, buah mengkudu, juga
hasil industri rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan
tembaga, pakaian, payung, keranjang dan barang anyaman, kajang, kepis,
gula, arang, kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing,
itik dan ayam serta telurnya di perjual belikan.
Disamping perdagangan antar desa dan antar wilayah watak pada jaman
Mataram kono, masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga dan pada jaman
kadiri berkembang pula perdagangan antar pulau dan perdagangan
internasional.
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak terlepas dari kebutuhan akan
hiburan. Prasasti dan relief candi, terutama candi Borobudur dan
Prambanan, banyak memberi data tentang bermacam-macam seni pertunjukan.
Pertma-tama kita menjumpai keterangan tentang pertunjukan wayang didalam
prasasti wukajana dari masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung.
Lain dari pada pertunjukan wayang kulit dan petilan wayang orang serta
pembacaan ceritra Ramayana adalagi pertunjukan lawak Mamirus dan
Mabanol. Pertunjukan lawak itu di jumpai hampir disemua prasasti yang
menyebut upacara penetapan sima secara terperinci.
Tari-tarian juga sering di pertunjukan pada upacara penetapan sima.
Contoh tari-tarian khusus misal Tuwung, Bungkuk, Ganding dan
Rawanahasta, ad juga tari topeng(mata putan). Alat musiknya berupa
gendang(padahi) kecer atau simbal, semacam gambang, saron, kenong dan
beberapa macam bentuk kecapi(Wina), seruling dan gong.
Berbagai macam tontonan itu tent saja tidak hanya di pertunjukkan pada
waktu ada upacara penetapan sima. Ada dalang, penabuh gamelan, penari
dan pelawak profesional, yang memperoleh sumber penghasilan dari
profesinya itu.baca juga tentang Raja-Raja Mataram
0 Komentar Untuk "Kerajaan Mataram"
Post a Comment
Catatan :
~ Usahakan Komentar Yang Sopan / Tidak Menyinggung
~ Tidak Mengandung Kata kasar
~ Tidak Berbau porno Atau sara
~ Boleh Berupa Kritik Atau Saran
~ Komentar Sesuai Artikel Di Atas
~ Diharapkan Untuk Tidak menulis Link Hidup / Aktif