Tanam Paksa di Indonesia
SISTEM SEWA TANAH
Sistem
sewa tanah dicetuskan oleh Letnan Gubernur Raffles. Pada hakekatnya
Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari
segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa
dan pekerjaan Rodi yang dijalankan oleh Kompeni Belanda ( VOC ). Pada
intinya Raffles ingin menghapuskan segala penyerahan wajib dan pekerjaan
Rodi yang dibebankan pada rakyat, khususnya para petani. Pandangan
Raffles sama dengan pejabat Belanda akhir zaman VOC yaitu Dirk van
Hogendorp. Menurut mereka sistem feodal yang ada di Indonesia pada waktu
itu mematikan segala daya usaha rakyat Indonesia.
Dalam
usahanya untuk menegakkan suatu kebijakan kolonial yang baru, Raffles
berpatokan pada tiga azas. Pertama, segala bentuk paksaan baik itu
penyerahan wajib dan kerja Rodi dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan
pada rakyat untuk menentukan tanaman apa yang hendak mereka tanam.
Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapus dan sebagai
gantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintahan
kolonial. Ketiga, para petani menganggap tanah yang mereka gunakan
adalah milik pemerintah kolonial dan mereka harus membayar pajak atas
pemakaian tanah pemerintah.
Sistem
sewa tanah tidak meliputi seluruh pulau Jawa, misalnya daerah sekitar
Jakarta, daerah Parahiyangan karena daerah tersebut umumnya milik
swasta, sedangkan daerah Parahiyangan pemerintah kolonial keberatan
untuk menghapus sistem tanam paksa kopi yang memberi keuntungan besar.
Karena
Raffles berkuasa di Jawa hanya lima tahun dan mengingat pula
terbatasnya pegawai-pegawai yang cukup dan dana keuangan, maka Raffles
tidak sanggup untuk melaksanakan sistem sewa tanah tersebut. Kemudian
kebijakan Raffles diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda yang baru.
Pertama-tama dibawah Komisaris Jendral Elout, Buyskes, dan Van der
Capellen ( 1816-1819 ). Dibawah Gubernur Jendral Vander Capellen (
1819-1826 ) dan Komisaris Jendral du Bus de Gisignies ( 1826-1830 ).
Sejak kedatangan Gubernur Jendral yang baru yaitu Van den Bosch ( 1830 )
menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dalam
bentuk yang lebih keras dan efisien dari pada di bawah VOC.
Pada
waktu Van der Capellen menerima jabatan sebagai Gubernur Jendral peran
bupati sudah sangat berkurang dibanding pada zaman VOC. Namun Van der
Capellen menyadari bahwa para bupati mempunyai pengaruh yang besar bagi
rakyat dan dia juga menyadari pejabat Eropa tidak akan sanggup
menggantikan kedudukan sosial dalam masyarakat Jawa.
Ditinjau
dari tujuannya yaitu untuk meningkatkan kemakmuran rakyat di Jawa dan
merangsang produksi tanaman dagangan, sistem sewa tanah dapat dikatakan
telah menuai kegagalan. Usaha-usaha untuk mengganti strukur masyarakat
yang tradisional ( feodal ) dan memberikan kepastian hukum pada para
petani pun tidak berhasil. Kesalahan Raffles adalah mungkin ia terlalu
melebih-lebihkan persamaan yang menurut ia terdapat antara India dan
Jawa. Hal ini disebabkan karena Raffles terinspirasi dari pengalaman
yang ia peroleh ketika di India.
SISTEM TANAM PAKSA
Dalam
bagian pertama sistem sewa tanah yang dicetuskan oleh Raffles mengalami
kegagalan, antara lain dalam merangsang para petani untuk meningkatkan
produksi tanaman perdagangan untuk ekspor. Pada tahun 1830 pemerintah
Hindia-Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru yaitu van den Bosch.
Beliau diserahi tugas untuk meningkatkan porduksi tanaman ekspor yang
terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung. Hal ini didorong oleh
keadaan yang parah dari keuangan negeri Belanda karena pemerintah
Belanda memiliki hutang-hutang yang jumlahnya cukup besar.
Ciri
utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van den Bosch
adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam
bentuk barang yaitu hasil pertanian.Van den Bosch berharap dengan
pungutan pajak semacam ini tanaman dagangan bisa dikirim kembali ke
negara Belanda untuk di jual kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan
Eropa.
Ketentuan-ketentuan
pokok dari sistem tanam paksa tertera dalam Staatsblad ( Lembaran
Negara ) tahun 1834, no. 22 yang berbunyi sebagai berikut:
1.
Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang
dapat dijual di pasaran Eropa.
2.
Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini
tdak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki
penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5.
Tanaman daganganyang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda, jika nilai hasil-hasil
tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus
dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6.
Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan pada pemerintah,
sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin
atau ketekunan dari pihak rakyat.
7.
Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan
kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi
diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan
tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Diatas
kertas ketentuan-ketentuan diatas memang tidak kelihatan tidak terlalu
menekan rakyat, walaupun orang-orang pada prinsipnya dapat mengajukan
keberatan-keberatan mengenai unsur paksaan yang terdapat dalam sistem
itu. Namun dalam prakteknya ternyata jauh sekali dari
ketentuan-ketentuan pokok, seperti yang tercantum dalam Staatsblad (
Lembaran Negara ) tahun 1834, no. 22. Sehingga banyak rakyat yang merasa
dirugikan.
Sistem
Tanam Paksa yang dilakukan oleh pihak Belanda memang menuai keuntungan
yang melimpah. Sebagai bukti, jika sebelum tahun 1830 pos anggaran
Belanda mengalami defisit terus-menerus maka pada tahun 1831 defisit
dalam anggaran pemerintah Belanda mengalami suatu surplus sebagai akibat
berhasilnya Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh Hindia-Belanda.
Pemerintah Belanda sangat puas atas berhasilnya Sistem Tanam Paksa
tersebut, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kondisi rakyat Indonesia
ketika Sistem ini diberlakukan, tetapi keadaan mulai berubah ketika
tahun 1850, rakyat Belanda lambat laun memperoleh kabar mengenai keadaan
rakyat Indonesia yang sebenarnya. Para penganut paham Liberalis ( Baron
Van Hoevell, Vitalis dll ) tidak setuju atas sistem tersebut diterapkan
di Indonesia. Aliran Liberalis semakin mendesak pemerintah untuk
membuka lahan di Indonesia bagi swasta. Pada tahun 1870 Sistem Tanam
Paksa dihapuskan sebagai akibat desakan dari kaum Liberlis.
SISTEM LIBERAL
Sistem
ekonomi kolonial pada tahun-tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut
sistem liberalisme, artinya adalah bahwa untuk pertama kalinya dalam
sejarah kolonial modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk
mengusahakan kegiatan ekonomi di Indonesia.
Meluasnya
pengaruh ekonomi barat dalam masyarakat Indonesia selama zaman liberal
tidak saja terbatas pada penanaman tanaman perdagangan di perkebunan
besar, akan tetapi meliputi impor barang-barang dari industri yang
sedang berkembang di Belanda. Kegiatan impor tersebut memiliki dampak
yang buruk bagi usaha-usaha kerajinan rakyat Indonesia. Karena pada
umumnya hasil-hasil produksi mereka baik dalam harga dan mutu kalah
bersaing dengan barang-barang impor dari negeri Belanda.
Satu-satunya
tindakan yang diberlakukan adalh memberikan kepastian hukum dan
memberikan perlindungan dasar kepada orang-orang Indonesia agar tidak
dirugikan lagi kepentingannya. Perlindungan itu dituangkan dalam UU
Agraria tahun 1870. Harapan tentang kemakmuran rakyat Indonesia setelah
diterapkannya Sistem Liberal sempat tumbuh, akan tetapi sampai pada
akhir abad ke-19 perubahan nasib rakyat Indonesia tidak mengalami
perubahan yang lebih baik.
Di
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami perkembangan pesat dalam
bidang perkebunan Contohnya : Tebu ( Gula ), Teh, Kopi, Kina, Tembakau
dan lain-lain. Pada tahun 1885 pekembangan dagang mulai jatuh,
terjadinya kesulitan-kesulitan di perkebunan besar akibat krisis di
pasar dunia.
Kemerosotan kemakmuran penduduk disebabkan beberapa faktor, yaitu :
1. Pertambahan penduduk mengkibatkan berkurangnya lahan dan produksi
2. Jawa harus menanggung finansial daerah lain
3. Adanya sistem kerja Rodi
4. Pajak yang sangat regresif ( memberatkan rakyat ).
5. Penekanan produksi oleh perkebunan besar.
Di
daerah Sumatra Timur perkebunan yang berhasil adalah dalam tanaman
tembakau yang paling terkenal dari Deli. Tetapi terjadi krisis pada
tahun 1891 yaitu krisis tembakau yang mengakibatkan banyak perusahaan
yang mengalami kerugian dan banyak yang gulung tikar. Selain perkebunan
yang di utamakan juga dibangun sarana dan prasarana umum seperti
pembangunan jalan kereta api dan dibangunya sarana pendidikan. Sistem
liberal ini berakhir sekitar abad ke-19.
dari berbagai sumber
0 Komentar Untuk "Tanam Paksa di Indonesia"
Post a Comment
Catatan :
~ Usahakan Komentar Yang Sopan / Tidak Menyinggung
~ Tidak Mengandung Kata kasar
~ Tidak Berbau porno Atau sara
~ Boleh Berupa Kritik Atau Saran
~ Komentar Sesuai Artikel Di Atas
~ Diharapkan Untuk Tidak menulis Link Hidup / Aktif